Kamis, 07 April 2011

Sudah hampir 4 bulan saya tinggal di Pangkalan Jati, daerah perbatasan antara Depok dan Jakarta Selatan. Secara administratif rumah kami terletak di daerah pemerintahan Depok, tapi secara geografis kami masih berada di daerah selatan Jakarta.

Sebagaimana dearah-daerah perbatasan lainnya, jalanan menuju ke sana juga jelek, berlubang, becek, tidak beraturan. Coba saja perhatikan jalan-jalan di perbatasan, rata-rata tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah daerahnya.

Sesekali coba berkunjung ke selatan Jakarta, menuju perbatasan antara Jakarta Selatan dan Depok. Jika mengambil jalur jalan Fatmawati, maka tidak akan terlalu sulit menemukan lokasi ujung paling selatan kota Jakarta ini.

Dari arah RS Fatmawati, jalan raya yang cenderung padat kendaraan pada jam-jam kerja ini masih mulus tekstur aspalnya. Melewati pasar pondok labu, kita sudah berada hampir di ujung selatan Jakarta. Ada sebuah Rumah Sakit Umum yang cukup besar di sebelah kiri jalan, RS Peri Kasih. Dan setelahnya, juga ada bangunan besar yang sangat mudah di jadikan patokan directory, Universsitas Pembangunan Nasional (UPN).

Di jalan tusuk sate tepat didepan UPN, ada banyak pedagang kaki lima yang berjajar di bahu jalan, tepat di sudut tusuk sate itu terdapat sebuah mini market dari salah satu waralaba yang sudah banyak terdapat di banyak tempat. Sebuah pohon beringin rindang tua juga masih angkuh berdiri, dan menjadi tempat bernaung belasan tukang ojek yang menunggu penumpang. Dan disanalah rumah kontrakan kami, di batas kota.

Setiap hari kerja, saya akan berangakat menuju kantor dengan beberapa opsi yang tentunya opsi-opsi tersebut memiliki plus minusnya.

Opsi pertama, nebeng membonceng motor tetangga yang rata-rata satu jalur. Hal ini sempat beberapa kali terjadi jika kebetulan ketika saya keluar dari pintu kontrakan, mereka melintas di depan saya dan menawarkan tumpangan. Lumayan, jadi bisa menghemat 2 hal: Waktu dan uang. Tapi cara ini tidak selalu terjadi. Saya pun tidak mencoba membuat dengan sengaja kebetulan-kebetulan seperti itu.

Opsi kedua, Saya naik angkutan umum 3 kali, dan turun tepat di depan kantor saya di daerah Radio Dalam. Tentu saja dengan ongkos yang lebih besar. Opsi ketiga, saya naik angkutan umum 2 kali, lalu diteruskan dengan berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh.

Tentu saja, sebagai orang yang memahami kondisi rekening pribadi, saya akan memilih opsi ketiga. Sebenarnya opsi pertama lebih menyenangkan, tapi ada sesuatu yang membuat saya enggan untuk melakukan itu. Nah, untuk menjalani opsi ketiga ini, tentu ada konsekuensi yang harus saya tanggung. Dan konsekuensi itu adalah 1000 langkah pagi dan petang. Ya benar, saya harus berjalan kaki dari Pasar Blok A ke Radio Dalam, menembus pasar, pemukiman yang rapat dengan  saluran air yang kurang lancar dan menebarkan aroma tidak sedap, melintasi komplek TNI AL lalu sampailah di Radio Dalam.

Saya tidak tahu jarak dalam satuan meter dari mulai turun dari Metro Mini di Pasar Blok A sampai ke Radio Dalam. Lalu saya berfikir untuk mengukur jarak tersebut dengan hitungan yang lebih realistis, yaitu langkah kaki. Bisa jadi langkah kaki masing orang berbeda-beda, yang akan membuat perbedaan jumlah ayunan langkahnya juga berbeda. 1000 langkah itupun, adalah hitungan yang sudah saya ringkas sedemikian rupa,

Sebenarnya, jumlah langkah kaki yang saya tempuh setia pagi lebih dari 1300 langkah, tapi lagi-lagi saya tidak bisa mengingatnya dengan baik berapa tepatnya saya melangkah. Maka saya bulatkan saja menjadi 1000 langkah.

Saya teringat kata-kata Mario Teguh, seorang motivator. Bahwa: "Rutinitas membunuh semangat. Jadi, pastikan, tiap harinya anda belajar hal-hal baru. "
Tentu saja saya merasa jenuh ketika harus berhati-hati melangkah di atas jalanan  pasar yang becek. Ditambah ketika harus melintasi tumpukan sampah yang busuk dan lalat-lalat yang menyebalkan, dan juga ketika saya harus menghirup asap knalpot bajaj, ketika keringat membuat pakaian rapi saya lusuh. Dan ketika mencium bau selokan meski sudah terlewat i10 meter jauhnya, melewati pemukiman yang rapat dengan aroma rumah tangga yang aneh, dan ketika presensi jam masuk kantor saya selalu merah. Ya saya jenuh.

Lalu saya mencoba memetik sesuatu dari rutinitas itu, sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata, "Jikalau hikmah itu ada di dalam gunung, niscaya akan aku goncangkan gunung itu!". Baiklah, harus ada yang bisa diambil dari rutinitas tersebut.

Melewati Pasar, saya merasa sangat beruntung untuk tidak bekerja sejak dini hari dengan berkarung-karung sayuran, daging ayam, tempe, ikan asin, buah belimbing, kasur palembang, belepotan minyak goreng, kompor semawar (sejenis kompor minyak yang nyalanya sangat berisik), barisan bajaj dan lainnya.

Alhamdulillah, saya masuk kantor pukul 08.30 pagi, pun masih sering terlambat, dan masih sempat sarapan dengan baik. Saya beruntung bekerja di ruangan berpendingin udara, di hadapan komputer dan fasilitas menyenangkan lainnya, itupun masih sering mencuri-curi waktu untuk menuliskan hal ini.

Melewati pemukiman rapat, saya merasa sangat beruntung untuk dapat tinggal di sebuah rumah yang bersih, berlantai ubin, dengan sanitasi dan ventilasi yang baik, jauh dari selokan yang beraroma tak sedap, tidur di atas kasur berpegas ditemani seorang Bidadari cantik dan Seorang Bayi tampan.

Melewati sebuah kios rokok, yang sarat dengan orang-orang pasar yang berdesakan menyaksikan berita pagi di sebuah televisi di dalam kios tersebut, saya merasa beruntung punya sebuah televisi 21 inc yang bisa kami nikmati sepuas-puasnya tanpa harus berdiri dengan kaki dikerubungi lalat, pun tv tersebut saya beli second.

Melewati sebuah pos ronda dengan seorang perempuan paruhbaya kumal, rambut gimbal, kulit coklat, dan sedikit seram dan bertelanjang dada meringkuk kedinginan, tapi dia tertawa cekikikan ketika saya melintas. Saya merasa sangat beruntung masih dianugerahi pikiran yang sehat wal'afiat dengan tubuh yang juga bugar dan mendapatkan asupan gizi yang cukup, pun saya masih sering tertawa terbahak-bahak untuk hal yang tidak penting.

Sampai di Jalan Raya Radio Dalam, dan menyaksikan seorang pengendara motor yang bersimbah darah karena tertabrak oleh sebuah mobil box milik sebuah swalayan yang buka 24 jam, saya merasa sangat beruntung masih diberikan keselamatan meski harus berjalan melintasi semua ngilu di sepanjang jalan. Alhamdulillah masih ada dhuha tersisa. Lalu, saya akan kembali mencari cermin dan memantulkannya ke dalam hati, pada 1000 langkah petang nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar