Kamis, 28 April 2011

makalah iman


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat-Nya dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Realisasi Iman Dalam Kehidupan Sosial”.
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Makalah ini dibuat dengan maksud yakni memperoleh keridhoan Allah semata, dan menjadi pembelajaran bagi kita semua. Akhir kata kami penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan sekaligus bermanfaat untuk menambah pengetahuan sehubungan dengan Iman dalam Kehidupan kita sehari-hari.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan merasakan kesusahan maupun kebahagiaan saudaranya seiman yang didasarkan atas keimanan yang teguh kepada Allah SWT.
Dia tidak berpikir panjang untuk menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang diperlukan saudaranya adalah benda yang paling ia cintai. Sikap ini timbul karena ia merasakan adanya persamaan antara dirinya dan saudaranya seiman.
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam mempelajari “Iman dalam keidupan Sosial” adalah:
1. Agar mahasiswa bisa mengaplikasikan Iman dalam kehiupan Sosial (Masyarakat).
2. Dan juga memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesama saudara umat muslim.

BAB II
DEFENISI IMAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

A. CINTA SESAMA MUSLIM SEBAGIAN DARI IMAN
Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Qur’an selalu menyandingkan iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah hadist selalu mengaitkan tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku sehari-hari. Di antara prilaku yang dijadikan Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauhmana tingkat kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia.
Hadist di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadist di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Sifat seperti yang disebutkan Rasulullah dalam hadist tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadist tersebut dapat dipahami secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang tidak sempurna tingkat keimanannya. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal tertentu.
Seorang mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Di sisi lain, hadist di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadist di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.

Persaudaraan seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ  
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki semangat ihsan terhadap sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik.

B. SEORANG MUSLIM TIDAK MENGGANGGU ORANG  LAIN
Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “orang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Inti pesan dalam hadis tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia (hablum minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah (hamblum minallah).
Pesan pertama yang tekandung dalam hadist di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dapat dikategorikan sebagai seorang muslim sejati.
Pesan Kedua yang terkandung dalam hadis di atas adalah melakukan aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah swt. Hadist tersebut menyebutkan hijrah secara simbolik tetapi mengandung pengertian yang sangat luas. Secara tekstual hadist di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw. yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
Di antara ciri kesempurnaan keislaman seseorang adalah tidak menyakiti saudaranya seiman dalam berbagai bentuknya, baik dengan kekerasan fisik maupun lisan. Selain itu, orang Islam sejati ialah orang yang berusaha keras untuk berhijrah (pindah) dari perbuatan-perbuatan yang dimurkai Allah kepada perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya.
C. REALISASI IMAN DALAM MENGHADAPI TAMU
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R. Syaikhani dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadist di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadist tersebut.
a. Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemapuan. Dalam sejumlah hadist dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
b. Memuliakan Tetangga
Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang.
c. Berbicara Baik atau Diam
Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.





















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semangat ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah swt. dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata yang baik atau memilih diam jika tidak mampu mengucapkan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar